Siapa
yang tidak gentar saat menghadapi kematian?
Detik-detik
akhir yang menentukan. Khusnul khotimah ataukah suul khotimah?
Menjadi
umat Rasulullah SAW ataukah menjadi bala tentara iblis jahanam?
Merasa
memiliki tanggung jawab sebagai seorang anak, Burhanudin terus berupaya ‘membangunkan’
Bapaknya agar di akhir hayatnya bisa menyebut asma Allah dan Rasulullah.
Padahal secara kasat mata saat itu sang Bapak sudah pucat, terbujur kaku dan
tak bernafas lagi. Berikut kisah yang ditulis Burhan:
Saya Belum Bisa Percaya bahwa Bapak Sudah Meninggal
Kurang
lebih satu tahun sudah Bapak Saya sakit. Saya berasal dari Bekasi namun tinggal
di Blitar, daerah asal istri Saya, Saya pun jadi sering bolak-balik
Blitar-Bekasi. Demikian pula tanggal 1 Agustus 2016 lalu, Saya pulang ke Bekasi
karena mendapat kabar bahwa sakit Bapak semakin parah. Dua hari kemudian, 3
Agustus 2016, tepatnya hari Rabu malam Kamis menjelang waktu Isya setelah
melaksanakan salat maghrib beserta Mujahadah Yaumiyahnya, Saya di hampiri Ibu
di tempat Saya bermujahadah.
Sambil
menangis Ibu berkata, “Burhan, Bapak
sudah diam saja. Napasnya juga berhenti.”. Saya pun bergegas ke tempat
tidur Bapak dan ternyata benar, Bapak Saya sudah terbujur kaku, wajahnya pucat,
napasnya berhenti. Melihat keadaan Bapak seperti itu, sebagai anak Saya merasa
cemas dan takut kalau Bapak Saya meninggal dalam keadaan lupa ke pangkuan
Kanjeng Romo Kyai RA. Tetapi Saya tidak mau menyerah, dengan harapan Bapak Saya
masih ada sisa umur, akhirnya Saya terus mengajak Bapak berkomunikasi. Saya sedikit
berteriak di telinga kanan Bapak, Saya katakan,
Pak, dengarkan Saya, Saya Burhan anak
Bapak
Bapak yang mengajarkan Saya taslim ke
pangkuan Kanjeng Romo
Bapak yang mengajarkan Saya berguru
pada Beliau
Bapak menasihati Saya bahwa Beliau Kanjeng
Romo guru yang kamil mukamil
Bapak yang mengantarkan Saya mondok di
Kedunglo
Sekarang tunjukkan, buktikan kalau
Bapak masih ingat, taslim dan nderek Beliau
Panggil-panggil Beliau meskipun dalam
hati. Panggil-panggil terus Beliau
Ibu merangkul
Saya sambil menangis dan berkata, “Burhan,
ikhlaskan ya, Bapak sudah meninggal”. Tetapi Saya masih belum percaya, Saya
tetap yakin Bapak Saya belum meninggal. Akhirnya Saya berteriak di telinga
kanan Bapak dengan harapan agar Bapak ikut apa yang Saya ucapkan, “Kanjeng Romo, bimbing Saya yang sedang sakaratul
maut ini. Bimbing Saya Kanjeng Romo, bimbing Saya…”.
Setelah
beberapa kali Saya mengajak Bapak untuk bertawassul ke pangkuan Beliau RA, Ibu
Saya semakin menangis sambil bertasyafu’. Tiba-tiba, tubuh Bapak bereaksi
menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Bapak batuk sambil mengeluarkan darah hitam.
Spontan Saya mentalqin ‘Ya Sayidi Ya
Ayyuhal Ghouts… Ya Sayidi Ya Ayyuhal Ghouts…’ berulang-ulang.
Kemudian
dengan keadaan mulut yang berat untuk berucap, ditambah penuh darah dengan
suara di dada dan leher seperti bergemuruh, Bapak membaca Ya Sayidi Ya Ayyuhal Ghouts sebanyak tiga kali dan menyusul
mengucapkan La Ilaha Illallah Muhammadur
Rasulullah, kemudian Bapak pun meninggal.
Bibirnya sedikit mengerucut, terbawa saat membaca kalimat terakhir Muhammadur Rasulullah.
Pengalaman Ibu Melihat Kanjeng Romo Kyai RA Datang ketika Detik-detik Menjelang Ajal Kematian Bapak
Setelah
itu Saya dibuat heran oleh Ibu Saya, Ia menangis bukan di samping jenazah
Bapak, melainkan di bawah kalender dengan foto Beliau sambil berkata, “Terima kasih, Kanjeng Romo, terima kasih”.
Waktu itu Saya belum berani bertanya perihal apa yang dialami Ibu ketika menjelang
detik-detik kematian Bapak. Singkat cerita, setelah tiga hari kematian Bapak,
Saya mencoba bertanya kepada Ibu tentang apa yang terjadi ketika Bapak
meninggal sehingga Ibu pertama kali langsung mengucapkan terima kasi di hadapan
kalender bergambar foto Beliau RA.
Ibu
menuturkan pengalamannya, “Bagaimana Ibu
tidak menangis dan berterima kasih, waktu itu Ibu seperti orang yang mau pingsan,
pandangan mata Ibu kabur. Ibu merasa seakan-akan Ibu bukan dalam dunia nyata,
Ibu melihat Kanjeng Romo datang di saat Burhan menuntun tawassul di telinga
Bapak. Beliau memegang ubun-ubun Bapak, terus Bapak mengeluarkan darah sampai
Bapak bisa menyebut (mengucapkan La Ilaha Illallah…) Beliau langsung hilang”.
Pengalaman Bibi Melihat Kanjeng Romo Kyai RA Memberi Baju Putih Bersih kepada Bapak
Di sisi
lain, pengalaman dari Bibi Saya. Ketika Bapak meninggal dan meninggalnya malam
hari, akhirnya keluarga sepakat untuk mensholati dan mengubur jenazah Bapak
besok pagi. Dan alhamdulillah malam itu dari pengamal bergantian untuk
Mujahadah di samping jenazah Bapak, sedangkan dari non pengamal bergantian
membaca surat Yasin.
Bibi
Saya bercerita, pada jam 11 Bibi kebagian giliran Mujahadah di samping jenazah.
Di pertengahan Mujahadah, antara sadar dan tidak, Bibi melihat Kanjeng Romo RA,
Mbah Yahi Madjid QS wa RA dan Mbah Yahi Ma’roef RA datang ke jenazah Bapak. Dan
Beliau Kanjeng Romo RA memberi baju putih bersih ke jenazah Bapak Saya. Wallahu a'lam. (Burhan)
Sumber:
Majalah
Aham Edisi 131 | Jumadats Tsaniyah 1438 H
Tags:
wahidiyah