Sekitar
5 tahun yang lalu, seorang pengamal Wahidiyah yang enggan disebutkan namanya,
berangkat menuju Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdhoroh dari Jambi. Ia
berniat menjemput putranya yang baru saja lulus dari SMP Wahidiyah, sekaligus
mengikuti resepsi Mujahadah Kubro. Namun, nasib malang menimpanya di tengah
perjalanan setelah menyeberang selat Sunda dari Pelabuhan Bakauheni ke Pelabuhan
Merak.
Ketika
hendak turun dari kapal Feri dan kembali menuju bus, Ia teringat akan telepon
genggamnya yang tertinggal di dek 2. Namun, bus merah yang tadi Ia tumpangi
sudah tak terlihat lagi ketika Ia kembali. Dalam keadaan bingung, Ia memutari
seluruh terminal untuk mencari bus yang Ia tumpangi tadi, hingga satu jam setengah
usahanya itu tak membuahkan hasil.
Orang Pertama, Mengantarkannya ke Bus/Tumpangan yang Ia Cari
Pada
saat kelelahan dan putus asa, Ia melihat seorang pria di jalan yang menunjuk ke
arahnya sambil berkata, “Kamu yang
ketinggalan! Ayo melu (ikut) aku. Nanti kalau ada mobil merah Aku tumpangkan”.
Begitu bingungnya, muncul perasaan suuzan di dalam hatinya, Ia berpikir bahwa
Ia akan di palak oleh pria yang tidak Ia kenal tersebut. Namun di sisi lain,
entah mengapa hatinya tergerak untuk mengikuti pria itu. Dengan menaiki
kendaraan umum, Ia di antar menuju rumah makan tempat bus yang Ia tumpangi tadi
singgah.
“Iku mobilmu”, tunjuk pria tak dikenal
tersebut. Ternyata benar, yang ditunjukkannya adalah bus merah yang ditumpangi
oleh pengamal tersebut. Salah besar seluruh prasangka buruk yang ada dalam hatinya,
seketika Ia peluk pria tak dikenal itu. “Ternyata
di kota besar ini masih ada orang baik”, ucapnya. Sebagai tanda terima
kasih, Ia berniat mentraktir pria tersebut di rumah makan itu, namun saat
menoleh ke belakang pria tersebut sudah tak terlihat lagi.
Orang Kedua, Menyapanya dan Menimbulkan Pertanyaan Baru dalam Benaknya
Belum
selesai Ia terheran-heran, di depan rumah makan lagi-lagi Ia dituding oleh
seseorang yang tidak Ia kenal. “Awakmu
pengamal ndi? Saya juga pengamal, Saya dari Kedunglo. Saya tetangganya Beliau,
yang ngantarkan Kamu tadi dari pelabuhan ke rumah makan ya bosku”, kata
pria tersebut. Tanda tanya besar memenuhi pikirannya hingga sampai di Pondok
Pesantren Kedunglo Al Munadhdhoroh. Selama di sana, Ia cari-cari orang yang
menolongnya pada waktu itu, namun tidak juga membuahkan hasil.
Hingga
Ia kembali ke rumah bersama putranya, pertanyaan itu belum terjawab juga,
sampai akhirnya sang anak menunjukkan dua foto kepada ayahnya. “Pak, Aku membawa dua foto”, katanya. Lalu
betapa terkejutnya pengamal tersebut, dua orang dalam foto tersebut ternyata
adalah pria yang telah menolongnya. Dari putranya, Ia baru mengetahui bahwa sosok
di dalam foto tersebut adalah Mbah KH. Moehammad Ma’roef QS wa RA, yang telah
membantunya mencari bus. Sedangkan pria yang menyapanya di depan rumah makan adalah
Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA.
Meskipun
sudah lama mengamalkan Wahidiyah, namun jauhnya akses menuju rumah pengamal
tersebut membuatnya terbatas informasi tentang pendiri Pondok Pesantren
Kedunglo dan Muallif Sholawat Wahidiyah tersebut. Wallahu A’lam. (whd)
Sumber:
Majalah
Aham Edisi 139 | Juni 2018 M / Syawal 1439 H
Tags:
wahidiyah