Pengalaman
rohani ini dialami oleh Witarmin, pengamal dari Jambi. Sekitar awal tahun
90-an, sebenarnya sudah terbentuk jamaah Wahidiyah di daerahnya. Namun Ia masih
belum mengamalkannya, bahkan bisa dibilang kontras dengan amalan Wahidiyah. Dalam
hatinya bertanya-tanya:
Wahidiyah kok menangis
Wahidiyah kok menghadap ke sana dan ke
sini (nida’ 4 penjuru, red)?
Ada atau tidak dasar dan acuan yang
berasal dari Al Quran dan hadits?
demikian
pikirnya.
Mengamalkan Sholawat Wahidiyah Karena Ingin Mengetes Kebenarannya, hingga Dirawuhi Mbah Yahi QS wa RA
Suatu
ketika, Ia bertemu dengan salah satu pengamal Wahidiyah dari Lumajang. Namanya
Suryat, Ia merupakan pengamal Wahidiyah sejak zaman Mbah Yahi QA wa RA. Kesempatan
ini Ia gunakan untuk bertanya tentang keganjalan di hatinya kepada Suryat,
mulai dari siapa yang menta’lif, ada gurunya atau tidak dan lain sebagainya. Kemudian
dijawab lah oleh Suryat, “Ada, tempatnya
di Kedunglo Kediri”.
Meski
Witarmin berasal dari Jawa Timur, namun Ia merasa asing dengan Kedunglo. Yang
Ia tahu saat itu adalah Lirboyo, yang memang sudah sering Ia kunjungi. Suryat
juga menjelaskan dalil-dalil Al Quran dan hadits yang menjelaskan tentang
ajaran Sholawat, khususnya Sholawat Wahidiyah. Setelah dialog itu, Ia mulai
merenung mengapa Ia tidak bisa menerima Wahidiyah. Kemudian timbullah keinginan
untuk mengamalkan Wahidiyah walau hanya mencoba-coba, Ia ingin mengetes amalan
Wahidiyah.
Dalam
hatinya berkata, “Adakah asror yang
terkandung di amalan Sholawat Wahidiyah ini? Jika ada, maka akan Saya
lanjutkan, jika tidak ya Saya mundur”. Ia pun mengamalkan Mujahadah 40
harian. Selang beberapa hari, masih dalam masa melaksanakan Mujahadah 40 harian,
Ia dirawuhi secara batiniah oleh seseorang, yang diyakininya adalah Muallif
Sholawat Wahidiyah. Saat itu Beliau dawuh, “Diteruso
Le, diterusno ra popo, Le” (Diteruskan saja, Nak, diteruskan saja tidak
apa-apa, red.).
Dalam
penglihatannya, Ia melihat Mbah Yahi QS wa RA mengenakan baju bergaris-garis
dengan motif kotak-kotak kecil. Keesokan harinya, Ia menceritakan pengalaman
rohaninya kepada salah seorang pengamal Wahidiyah, sekaligus ingin bertanya
untuk memastikan bahwa penta’lif Sholawat Wahidiyah adalah Mbah Yahi QS wa RA.
Hatinya tidak tenang, terusik ingin mengetahui lebih jauh apa itu amalan
Sholawat Wahidiyah. Saat itu Ia berkata, “Jika
Sholawat Wahidiyah ada penta’lifnya, Saya akan datang”.
Muncul Keinginan yang Besar untuk Berkunjung ke Kedunglo dan Sowan ke Pangkuan Kanjeng Romo Kyai RA
Beberapa
waktu setelah kejadian itu, tiba-tiba saja Ia mempunyai keinginan besar untuk
berangkat ke Kedunglo. Saat itu Ia belum memiliki dana yang cukup untuk
membiayai perjalanannya ke Kedunglo, Ia hanya mempunyai ayam ternak. Akhirnya,
Ia menjual semua ayam-ayamnya dan berangkat ke Kedunglo. Setibanya di Kedunglo,
Ia mendaftarkan diri untuk sowan ke pangkuan Kanjeng Romo Kyai RA, kepada Bapak
Slamet Riyadi yang saat itu masih menjabat sebagai Pramu Sekretaris.
Minggunya,
Ia sowan ke pangkuan Kanjeng Romo Kyai RA. Sebelum sowan, Ia disuguhi nasi dan
sayur tumpang beserta dengan lalapan taoge. Dalam benaknya Ia bertanya, “Waduh, ini nasi apa, kok rasanya begini,
berarti hati Saya busuk ini. Tetapi tak apalah karena ada cambah (taoge)”. Saat
itu Ia mengiaskan bahwa bahan pembuat tumpang berasal dari tempe busuk, yang
dikiaskan sebagai hatinya yang busuk. Sedangkan taoge, Ia kiaskan sebagai bibit
yang dapat memperbaharui kehidupan.
Sepulangnya
dari Kedunglo, Ia diberi buku oleh Bapak Slamet Riyadi yang berjudul ‘Jalan
Kebenaran’. Buku tersebut mengisahkan liku-liku perjalanan seorang murid dalam
menemukan guru rohani. Pada bagian akhir dari buku tersebut, Si murid menemukan
amalan Sholawat Wahidiyah. Dalam ceritanya, dijelaskan pula pengertian, tujuan
dan manfaat Sholawat Wahidiyah. Sehingga Witarmin semakin termotivasi untuk
mengamalkan Sholawat Wahidiyah, ingin menemukan atsar dari Sholawat Wahidiyah.
Getol Mengamalkan Sholawat Ma’rifat, Anak Perempuannya Menjadi Jadzab
Sesampainya
di rumah, Ia pun mengamalkan Sholawat Wahidiyah dengan bersungguh-sungguh,
dibarengi dengan berpuasa, memperbanyak bilangan pada Sholawat tauhid dan
Sholawat ma’rifat secara bergantian. Ketika sedang getol mengamalkan Sholawat
ma’rifat, tiba-tiba anak perempuannya terkena efek dari Sholawat ma’rifat. Anaknya
menjadi jadzab. Namun saat itu Ia tidak mengenal istilah jadzab, Ia menganggap
anaknya gila.
Setelah
kejadian tersebut, banyak dari masyarakat yang mendiskriminasi Witarmin
sekeluarga, bahkan dari sanak saudaranya juga ikut memojokkannya. Mereka beranggapan
bahwa Sholawat Wahidiyah dapat membuat orang stres atau gila. Jiwanya pun terguncang,
Ia bertekad untuk sowan lagi ke pangkuan Kanjeng Romo Kyai RA. Sekali lagi, Ia
tak mempunyai cukup dana untuk berangkat sowan ke pangkuan Beliau.
Maka
Ia menjual tanah miliknya dan berangkatlah Ia sekeluarga dan tinggal sementara
di dekat Ponpes Kedunglo selama 6 bulan. Setibanya di Kedunglo, Ia sowan
bersama dengan keluarganya dan matur tentang kejadian yang menimpa keluarganya.
Kanjeng Romo saat itu memberikan dawuh, “Sudah
Mujahadah saja”. Lalu Beliau menanyai anak perempuannya, “Kamu stres ndak?”. Anak Witarmin
menjawab tidak, padahal saat itu anaknya masih dalam keadaan jadzab.
Setelah
sowan ke pangkuan Kanjeng Romo Kyai RA, Witarmin pulang ke tempat tinggalnya
sementara di dekat Kedunglo. Keesokan harinya, anak Witarmin selalu melarang
yang hendak menutup pintu rumahnya. Menurut pengakuan anaknya, saat itu Kanjeng
Romo Kyai RA rawuh beserta para Waliullah ke rumahnya. Suatu ketika, anak
Witarmin mengobrol sendiri, “Monggo-monggo,
Abah, monggo Abah, mongo Abah”. Abah yang dimaksud adalah Kanjeng Romo Kyai
RA.
Sang
bapak bertanya, “Kenapa?”, anaknya
menjawab, “Nanti pokoknya kalau Saya
nikah, harus dinikahkan Abah (Kanjeng Romo Kyai RA) dan Umi (Ibu Nyai)”.
Setelah
sembuh dari jadzabnya, keluarga Witarmin pulang ke Jambi.berselang beberapa
bulan di Jambi, anak perempuan tersebut dipinang oleh lelaki dari Lumajang.
Ketika itu Kanjeng Romo Kyai RA melaksanakan Mujahadah Nisfussanah Sumatera. Ketika
rombongan Beliau tiba di Provinsi Jambi, Beliau berkenan menikahkan putri
Witarmin di rumah ketua PW Jambi saat itu, Bapak Priyo Anggodo. (ac/dc)
Sumber:
Majalah
Aham Edisi 127 | Syawal 1437 H
Tags:
wahidiyah